GENERALISASI SEJARAH
GENERALISASI (bahasa Latin generalis bermaksud umum) adalah pekerjaan penyimpulan dari yang khusus
kepada yang umum. Generalisasi yang tersedia dapat menjadi dasar penelitian
bila sifatnya sederhana, sudah dibuktikan oleh peneliti sebelumnya, dan
merupakan accepted history. Generalisasi itu dapat
dipakai sebagai hipotesis deskriptif, iaitu sebagai dugaan sementara. Biasanya
ia hanya berupa generalisasi konseptual. Meskipun demikian, pemakaian
generalisasi yang bagaimanapun sederhananya harus dibatasi supaya sejarah
tetap empiris. Generalisasi sejarah yang sebenarnya adalah hasil penelitian.
Misalnya, kata "revolusi" yang merupakan penyimpulan dari data yang
ada memang dapat menjadi dasar penelitian, sementara kata "revolusi
pemuda" adalah kesimpulan yang didapatkan sebagai hasil penelitian. Akan
tetapi, sejarah adalah ilmu yang menekankan keunikan, jadi semua penelitian
tidak boleh hanya didasarkan pada asumsi umum. Generalisasi atau kesimpulan
umum memang sangat perlu dalam sejarah, sebab sejarah adalah ilmu. Orang yang
tak melakukan generalisasi tidak akan mampu membezakan antara "pokok
dengan hutan". Juga ia tidak akan mampu membezakan antara hutan dengan
taman. Sebab, keduanya mempunyai unsur yang sama, yaitu pokok, danau, dan
gundukan tanah. Demikian pula ia tidak akan mengerti lalu-lintas. Yang
dilihatnya hanyalah lampu hijau-kuning-merah, polis, kereta, dan jalan raya.
Generalisasi sejarah boleh bererti spesifikasi atau bahkan anti-generalisasi
bagi ilmu lain. Generalisasi bertujuan dua perkara penting, iaitu; (1)
saintifikasi dan (2) simplifikasi.
Saintifikasi: Semua ilmu menarik kesimpulan umum. Kesahajaan menjadi
tumpuan dalam generalisasi. Kalau kita ingin memberi warna pada sesuatu tembok,
kita perlu tahu bahawa kita memerlukan berapa tong cat. Perhitungan luas tembok
dan berapa meter dapat dicat oleh setiap tong, kita akan dapat meramalkan
dengan penuh kepastian berapa tong cat yang diperlukan. Ramalan itu dalam ilmu
sosial, termasuk sejarah adalah tidak dengan penuh kepastian, sebaliknya hanya
berupa kemungkinan. Dalam sejarah, generalisasi sama dengan teori bagi ilmu
lain. Dalam antropologi kita kenal teori evolusi. Dalam sejarah kita mengenal
generalisasi tentang perkembangan sebuah masyarakat. Kalau orang menggunakan
istilah teori untuk sejarah, maka yang dimaksud adalah generalisasi.
Generalisasi sejarah sering
digunakan untuk menguji teori yang lebih luas. Teori di peringkat makro
seringkali berbeza dengan generalisasi sejarah di peringkat mikro. Misalnya,
bagi Marxisme, semua revolusi adalah perjuangan kelas. Mula-mula tesis ini dipakai untuk menganalisis Revolusi
Perancis, kemudian dipakai juga untuk semua revolusi, termasuk yang terjadi di
Amerika Latin. Khususnya mengenai Revolusi Perancis, mereka berpendapat bahwa
revolusi itu adalah perjuangan kelas borjuis dan petani melawan kaum feudal.
Dari penelitian sejarah ternyata generalisasi itu tidak benar. Ada petani di
suatu daerah yang berbuat sebaliknya. Banyak petani yang takut pada kaum
borjuis dan lebih senang bersama kaum kaum feudal atau bangsawan. Pertanyaan kita
ialah kalau sesuatu generalisasi tidak berhasil menghadapi ujian sejarah dan
banyak perkecualiannya, timbul persoalan apakah itu masih sah sebagai
generalisasi?
Demikian juga halnya dengan revolusi
Indonesia. Revolusi Indonesia bukanlah perjuangan kelas, tetapi digerakkan
oleh cita-cita nasionalisme. Kesalahan generalisasi serupa juga dibuat oleh
Parti Komunis Indonesia (PKI) menjelang peristiwa Kudeta 1965. Mereka tidak
melihat bahawa petani sepanjang abad-abad sebelum itu lebih mudah digerakkan oleh
faktor budaya daripada faktor ekonomi. PKI rupanya lebih percaya pada ideologi
daripada generalisasi sejarah.
Simplifikasi: Orang akan terheran-heran mengenang gerakan rakyat yang
beramai-ramai menurunkan para pejabat dalam Peristiwa Tiga Daerah di Pekalongan,
Tegal dan Brebes pada pasca-revolusi tersebut. Seorang sejarawan dari
Australia, Anton Lucas, telah menyederhanakan peristiwa itu dengan menyebutnya
"bambu runcing menembus payung". Demikian juga dengan Peristiwa Cumbok
dapat disederhanakan dalam "pertentangan antara hulubalang dengan
ulama". Revolusi Sosial di Sumatera Timur yang banyak memakan korban tak
bersalah, seperti Amir Hamzah, sering disederhanakan dengan kata "rakyat
melawan bangsawan".
Simplifikasi diperlukan supaya
sejarawan dapat melakukan analisis. Demikianlah Madura dapat disederhanakan
sebagai daerah dengan ekologi tegal yang selalu mengalami kelangkaan sumber.
Penyederhanaan yang ditentukan melalui pembacaan itu akan membimbing
(menuntun) sejarawan dalam mencari data, melakukan kritik sumber, interpretasi
dan penulisan.
Memang ada metode penelitian sosial
yang menganjurkan supaya orang datang ke lapangan dengan kepala kosong.
Anjuran itu paling tepat bagi sejarawan. Akan tetapi, cepat atau lambat, orang
harus melakukan penyederhanaan supaya ia dapat menuliskan sesuatu.
Macam-macam
Generalisasi
Generalisasi Konseptual. Generalisasi ini disebut dengan generalisasi konseptual
karena berupa konsep yang menggambarkan fakta. Ketika orang mengatakan
"revolusi" dan bukan yang lainnya, seperti "pemogokan",
"pemberontakan", "ontran-ontran", maka dalam gambarannya
ialah darah, pertempuran, orang yang diadili massa, pembelotan dan pergantian
pemimpin. Orang dapat memakai istilah "revolusi sosial",
"revolusi damai", "revolusi petani", dan sebagainya. Semua
itu mempunyai denotasi dan konotasi tersendiri.
Di antara konsep yang diambil dari
ilmu sosial lain ialah "budaya politik", "patron kljen" dan
"budaya tandingan". Dalam riset mengenai sejarah politik, istilah
"budaya politik" banyak dipakai. Banyak istilah yang dipakai untuk
menunjukkan pentingnya birokrasi dalam politik di negara-negara sedang
berkembang, seperti "bureaucratic polity", "authoritarian
state" dan "ersatz capitalism". "Budaya politik" atau
lebih tepat "politik budaya" dapat dipakai untuk menjelaskan afiliasi
politik di Indonesia. Istilah "patron kuen" dipakai orang untuk
menjawab pertanyaan mengapa sama-sama Islamnya, desa-desa di Jawa Barat ada
yang mengikuti Kartosuwiryo dan ada yang tidak. Ternyata, bahwa itu semua
tergantung pada patron, yaitu orang yang paling dipercaya penduduk desa.
"Budaya tandingan" ialah budaya yang dimiliki oleh kelompok sosial
yang berada di luar kekuasaan. Di Surakarta pada 1900-an ada pertentangan
budaya antara golongan priyayi dan santri yang merupakan penjelmaan historis
dan konsep wong agung dan wong cilik. Masing-masing budaya punya
orang sakti sendiri; para priyayi menganggap ibunda kecil PB X yang tak pernah
menikah sebagai orang sakti, sedangkan para santri mengeramatkan Gus Wayang,
orang yang tinggal di luar kraton. Dua kelompok sosial-budaya itu masing-masing
juga menjadi pendukung partai yang berlainan; priyayi mendukung Budi Utomo dan
santri Sarekat Islam.
Konsep-konsep itu tidak harus
diambil dari ilmu lain, sejarah juga punya hak untuk membuat konsep. Konsep
"renaissance", misalnya, adalah konsep yang dibuat oleh sejarah untuk
memberi simbol kepada zaman kebangkitan kembali nilai-nilai kemanusiaan.
Sejarawan dapat memberi nama suatu bentuk negara dengan "monarki
absolut", "monarki konstitusional", dan sebagainya. Demikian
juga "pejuang" atau "pemberontak". Sejarawan Indonesia akan
menyebut sebagai "agresi Belanda" dan Belanda "aksi
polisionil" untuk mengatakan peristiwa yang sama.
Generalisasi Personal. Dalam logika ada cara berpikir yang menyamakan bagian
dengan keseluruhan atau pars pro toto. Generalisasi
personal juga berpikir seperti itu. Misalnya, kita berfikir seolah-olah Pan
Islamisme adalah Jamaluddin Al-Maghani, pembaharuan Islam di Mesir dengan Muhammad
Abduh, Svadeshi di India dengan Gandhi, kemerdekaan Indonesia dengan
Sukarno-Hatta, dan Orde Baru dengan Presiden Soeharto. Tentu saja itu tidak
terlalu salah, hanya saja itu bererti kita meniadakan peranan orang-orang lain.
Sarekat Islam selalu diidentitikan
dengan Samanhudi dan Tjokroaminoto. Dalam ilmu sejarah mengidentitikan dengan
pahlawan disebut dengan teori "pahlawan dalam sejarah" atau
"hero worship". Untuk mengurangi pemujaan pada pahlawan dalam ilmu
sejarah dikenal istilah "kekuatan sosial" atau "social
force" yang mengatakan bahwa setiap perubahan sejarah disebabkan oleh perubahan
sosial. Dalam hal Sarekat Islam ada perubahan sosial yang penting pada awal
abad ke-20 yaitu kebangkitan kelas menengah pribumi.
Sementara itu gerakan kemajuan di
kalangan pribumi yang terjadi di mana-mana pada awal abad ke-20 yang mendahului
Budi Utomo dan Sarekat Islam dapat dilimpahkan dalam kebangkitan kaum
terpelajar. Kita juga melihat, betapa gambaran tentang revolusi Iran sangat
dekat dengan Khomeiny, padahal asas revolusi sosial itu ialah para pedagang
menengah dan kecil di pasar yang menentang "revolusi putih" Syah
Iran.
Generalisasi Tematik. Biasanya judul buku sama dengan tema buku. Sejarah
Amerika pada abad pertama ditandai dengan budaya Puritan. Masa kanak-kanak dimulai
dengan santai, kemudian menjelang dewasa diterapkan disiplin yang keras oleh
orang tua. Untuk keperluan itu John Demos menulis sejarah keluarga dan data
kuantitatif dan literer, A Little
Commonwealth: Family Live in Plymouth Colony. Yang menjadi dasar
dan agama sipil di Amerika adalah rasa malu dan rasa bersalah orang-orang
Puritan.
Buku Mahatma Gandhi (1869-1948) An Autobiography menceritakan, seperti
temanya, yaitu percubaan Gandhi untuk menyatakan kebenaran. Buku itu berisi
kisah hidup Gandhi; keluarganya, sekolahnya, perjuangannya bersama para buruh
India di Afrika, dan perjuangannya di India. Buku itu kemudian jadi sumber
untuk buku sejarah kejiwaan (psycohistory)
Erik Erikson yang menganalisis asal-usul kejiwaan Gandhi. Diceritakan, di
antaranya, sebab-musabab Gandhi berjanji untuk tidak lagi menyentuh perempuan
ialah rasa bersalah yang luar biasa pada ayahnya.
Demikian juga buku yang telah
ditulis orang mengenai Presiden Soeharto, O.G. Roeder, AnakDesa, yang melukiskan bahwa pada hakikatnya presiden itu ialah
anak desa. Biografi itu ternyata tidak jauh dari kenyataan, kalau kita lihat
betapa akrab presiden dengan orang kecil. Seolah-olah judul biografi itu
membuat kesimpulan umum tentang psikologi Pak Harto.
Generalisasi Spatial. Kita sering membuat generalisasi tentang tempat. Pikiran
sehari-hari membuktikan hal itu. Orang luar kota selalu membayangkan bahwa
setiap hari orang Yogya makan "kolak kedelai", nama yang diberikan
untuk tempe bacem. Demikianlah, untuk Korea, Jepang, dan Cina kita menyebutnya
dengan Timur Jauh atau Asia Timur, untuk sebagian besar negara-negara Arab,
Turki dan Iran kita menyebutnya Asia Barat, Asia Selatan untuk India, Pakistan
dan Bangladesh, dan Asia Tenggara untuk negara-negara Asean.
Ketika Sultan Agung menaklukkan
daerah-daerah di sebelah timur, kita menyebutnya kota pantai. Untuk menenteramkan
penduduk kota pantai yang beragama Islam itu Sultan Agung mengubah kalender
dari tahun matahari menjadi tahun bulan. Mereka yang tidak setuju dengan
kebijakan Sultan Agung menyingkir ke pesisir
barat, daerah yang aman dari kekuasaan kuta
negara.
Kita juga dapat berbicara tentang
kota-kota di Selat Madura - seperti disertasi FA. Soetjipto, "Kota-kota
Pantai di Sekitar Selat Madura". Tempat yang dihubungkan oleh sungai,
laut, dan lembah dapat menjadi satuan geografis yang mempunyai ciri-ciri sama.
Ciri-ciri itu tidak perlu sama; bahkan mungkin bertentangan, tetapi jadi
satuan geografis. Di Myanmar atau Birma, penduduk gunung dan lembah mempunyai
peranan saling melengkapi. Di Sumatera Barat ada konsep tentang rantau dan
darat.
Sekarang kita mengenal IBT dan IBB
berdasarkan pembangunan. Dahulu kita dibagi kurang lebih berdasar ekologi
menjadi Inner Indonesia dan Outer Indonesia. Daerah Inner Indonesia yang pada
umumnya adalah daerah sawah dan Outer Indonesia yang pada umumnya berekologi
ladang.
Generalisasi Periodik. Apabila membuat periodisasi, kita pasti membuat kesimpulan
umum mengenai sebuah periode. Zaman Pertengahan di Eropa disebut orang The Age ofBelieve karena pada zaman itu
orang cenderung menggunakan Kitab Suci daripada menggunakan pikiran. Penyebutan
sebuah periode tentu saja tergantung pada sudut pandang orang dan tergantung
jenis sejarah yang ditulis. Periodisasi orang~rang liberal lain dengan orangorang
Maixis. Demikian juga periodisasi sejarah politik dapat berbeda dengan
periodisasi sejarah sosial.
Orang Barat menyebut zaman sesudah
Zaman Pertengahan dengan sebutan Zaman Modern, sedangkan seorang Protestan
menyebutnya dengan The ProtestantEra. Sejarawan
Indonesia menyebut zaman sesudah Zaman Islam dengan sebutan Zaman Kolonial,
sedangkan sejarawan lain menyebutnya dengan Da Gama Period, sementara itu sejarawan Belanda merasa cukup
dengan sebutan "ekspansi Eropa". Itu semua dengan alasan masing-masing.
Disertasi Darsiti Soeratman,
"Kehidupan Dalam Kraton Surakarta, 1830-1939", juga memerlukan sebuah
generalisasi tentang keadaan sosial-budaya kraton dan periode yang
dibicarakan, kalau orang ingin mendapatkan gambaran yang utuh.
Periode Liberal di Indonesia yang
dimulai tahun 1870 dengan Undang-Undang Agraria yang berakibat masuknya modal
swasta, sering digeneralisasikan dengan periode menurunnya kemakmuran.
Pemerintah sejak tahun 1900-an mengadakan penelitian melalui sebuah komisi, Mindere Welvaart Commissi~yang oleh
wartawan pribumi diejek dengan singkatan "M.W.C." (alias mindere wc,
wc yang lebih kecil). Menurunnya kemakmuran itulah yang di antaranya mendorong
pelaksanaan Politik Etis.
Generalisasi Sosial. Bila kita melukiskan suatu kelompok sosial dalam pikiran
kita sudah timbul generalisasi. Kata petani barangkali mempunyai konotasi yang
bermacam-macam, sesuai dengan tempat dan waktu yang dibicarakan. Dalam bahasa
Inggris ada perbedaan antara peasant dengan
farmer. Petani di Eropa dulu dan
Tiongkok lama lebih sesuai disebut peasant
karena terikat dengan tanah dan bertani lebih sebagai jalan hidup daripada
sebagai usaha. Baik di Eropa dan Tiongkok ada feodalisme. Akan tetapi, bagi
petani di Indonesia pada umumnya, meskipun tidak ada feodalisme, tetapi ada
patrimonialisme; petani juga lebih tepat disebut dengan peasant. Karena itu peasant biasa
diterjemahkan dengan petani, sedangkan farmer dapat diterjemahkan
dengan pengusahatani.
Kalau kita berbicara tentang petani
di Indonesia pada abad ke-19, yaitu di dua kerajaan Jawa, Surakarta dan
Yogyakarta, petani merupakan bagian dari masyarakat secara keseluruhan dan
bagian dari budaya secara keseluruhan. Petani tidak dapat dibayangkan tanpa
masyarakat bangsawan dan budaya kraton yang didukungnya.
Lain halnya kalau kita berbicara
tentang pengusaha tani di Amerika. Sebelum Perang Saudara kebanyakan pengusaha
tani di Amerika bagian selatan adalah tuan tanah. Merekalah yang mendukung
perbudakan orangorang kulit hitam. Jadi, gambaran umum kita mengenai petani
tetap merupakan sebuah generalisasi, yang harus dispesifikasikan. Demikian
pula generalisasi kita tentang elite kekuasaan yang berada di atas petani. Juga
generalisasi tentang kelompok sosial lain, seperti "buruh",
"ulama", "orang sekuler", "orang Islam".
Generalisasi itu kita perlukan asal diikuti dengan spesifikasi. Sejarah adalah
ilmu yang sekaligus melakukan generalisasi dan spesifikasi. Diharapkan tulisan
sejarawan akan berimbang.
Generalisasi Kausal. Bila kita membuat generalisasi tentang sebab-musabab
kesinambungan, perkembangan, pengulangan, dan perubahan sejarah. Pada tingkat
individual, kita sering membuat kesimpulan umum tentang sebab-sebab seseorang
berubah. Banyak faktor yang senang kita tunjuk, seperti masalah moral, ekonomi,
pangkat, dan sebagainya. Tidak lepas dari generalisasi kausal adalah keluarga,
desa, satuan di atas desa, negara, masyarakat, budaya, dan sejarah.
Generalisasi Determinisme. Bila orang memastikan hanya satu saja yang menyebabkan,
itu disebut determinisme. Determinisme bersifat filosofis; determinisme ada
dua, yaitu idealisme dan materialisme. Pada idealisme yang menggerakkan
sejarah ialah ide, sedangkan materialisme menganggap bahwa materi-lah yang menggerakkan
sejarah. Idealisme diwakili oleh Hegelianisme, dan materialisme oleh Matxisme.
Yang terakhir itu sering disebut dengan Materialisme Historis atau determinisme
ekonomis. Determinisme itu berlaku secara apriori, sebelum mengetahui (bahasa
Latin prior bererti yang pertama). Persoalan bagi segala macam determinisme
ialah apakah gerakan-gerakan dalam sejarah itu mekanistis, jadi bergerak
dengan sendirinya seperti mesin, ataukah ada campur tangan manusia.
Generalisasi Sejarah. Generalisasi sejarah selalu bersifat aposteriori, sesudah
pengamatan (bahasa Latin posteriori bererti
kelanjutan). Edward Gibbon (1737-1794), seorang sejarawan Inggris, yang menulis
The History of the Decline and Fall of
the Roman Empire melihat bahwa maju dan mundurnya sebuah empirium adalah
bergantung pada wujud dan tidaknya cita-cita kemajuan.
Ada "teori" bahwa
pindahnya pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur; kerana letusan gunung
berapi yang menyebabkan daerah-daerah di Jawa Tengah tidak layak huni (sebab
geografis), atau penduduk di Jawa Tengah terlalu padat, sehingga sumber alam
tidak bisa mendukung (sebab kependudukan), atau karena ditemukannya bata yang
lebih ringan di daerah yang baru (sebab teknologis). Demikian juga perpindahan
pusat kerajaan Jawa dari pantai utara ke daerah pedalaman di selatan.
T. Ibrahim Alfian dalam Perang dijalan Allah mengemukakan bahwa
perang Aceh bisa bertahan begitu lama ialah karena ideologi jihad. Masyarakat
Banten dan Madura sama-sama pemeluk Islam yang fanatik, tetapi di Banten
terus-menerus ada pemberontakan, sedangkan di Madura jarang ada pemberontakan.
Ternyata, sebabnya ialah 'surplus sosial". Di Banten orang punya modal untuk
memberontak, di Madura tidak.
Yang terlupakan oleh determinisme
ialah faktor manusia. Biarlah masyarakat dan sejarah itu tetap terbuka.
Kadang-kadang di dunia "merdeka" sendiri pun timbul ancaman terhadap
keterbukaan itu. Menurut James Peacock dan Thomas Kirsch dalam The Human Direction, evolusi manusia
menunjukkan bahwa mula-mula Tuhan itu banyak, lalu jadi tiga, kemudian tinggal
satu, yang satu ini mula-mula bersifat personal, kemudian jadi impersonal, dan
akhirnya Tuhan yang telah meninggal. Kata mereka, dunia sedang menuju pada
sekularisme seperti masyarakat Amerika. Itulah nasib manusia yang tak terelakkan.
Padahal, isu tentang "fundamentalisme" sekarang ini juga sangat
kuat.
Generalisasi Kultural. Para pelaku sejarah sendiri kadang-kadang melakukan
generalisasi kultural. Tidak ada anak-anak ulama yang masuk sekolah umum
sebelum kemerdekaan. Dan sebaliknya, Belanda pernah menyamakan haji dengan
rentenir. Dalam laporan Mindere Welvaart Commissie jumlah haji di Madura
persis jumlah rentenir.
Demikian apa yang dikerjakan ulama
dari Pekalongan, Kyai Rifai yang dibuang ke Ambon pada 1859, ialah generalisasi
kultural. Ia menyusun kitab-kitabnya dengan syair bahasa pesisir. Kita dapat
menduga itu dikerjakannya sebagai simbol perlawanan terhadap patrirnonialisme
dan kolonialisme. Perlawanan terhadap patrimonialisme kerana ajaran Islam selalu
ditulis dalam tembang-tembang dan perlawanan terhadap kolonialisme dinyatakan
dalam bentuk yang konkrit, berupa penolakan terhadap penghulu yang diangkat
oleh pemerintah.
Kita dapat melakukan penelitian
sejarah berdasar atas generalisasi kultural "daerah hukum adat" yang
dibuat oleh Van Vollenhoven dan Ter Haar. "Daerah hukum adat" yang
mirip dengan konsep "cultural area" dapat kita jadikan wilayah
natural untuk sejarah agraria atau sejarah politik di peringkat lokal.
Agak terlalu makro ialah tulisan-tulisan
ArnoldJ. Toynbee (1889-1975), A Study of
History dan buku yang kecil The World
and the West, yang menjadikan "civilization" sebagai suatu unit
studi sejarah. Ia mengemukakan bahwa peradaban itu mengalami empat masa seperti
siklus musim, yaitu tumbuh, berkembang, menurun, dan jatuh. Bukunya, A Study of History, mengemukakan bahwa
turun naiknya peradaban itu tergantung pada hukum "tentangan dan
jawapan" atau challenge and response. Dalam bukunya, The World and the West, ia juga membuat
semacam hukum radiasi peradaban. Dikatakannya, bahwa peradaban yang masuk ke
peradaban lain itu akan dihuraikan, seperti sebuah sinar akan diuraikan oleh
sebuah prisma. Teknologi lebih mudah diserap daripada elemen peradaban lainnya.
Generalisasi Sistemik. Kita sering membuat kesimpulan umum tentang adanya suatu
sistem dalam sejarah. Dalam sejarah ekonomi, hubungan antara Mrika, Amerika,
dan Eropa sebelum Perang Saudara dapat digambarkan sebagai sebuah sistem.
Mrika mengirim tenaga (budak) ke Amerika, Amerika mengirim bahan mentah (kapas)
ke Eropa, dan Eropa (Inggris) mengirim barang jadi (tekstil) ke Afrika. Kita
juga melihat jalan sutera dari Tiongkok ke Eropa pada zaman kuno; satu melalui
darat melintasi Asia Tengah, dan yang lain melalui laut melintasi Indonesia.
Orang Jawa juga mengeksport beras ke Indonesia Timur. Kita juga tahu
perdagangan lada dari Indonesia sampai Eropa.
Jalur perjalanan yang sifatnya lokal
juga dapat kita rekonstruksikan. Kita tahu dari Babad Tembayat bahwa ada jalan dari Semarang ke KIaten yang
melewati Salatiga. Kita juga tahu dari sumber-sumber VOC ada jalan dari
Semarang ke Yogyakarta melalui Magelang. Dan Tembang Macapat kita tahu ada
jalan sungai lewat Bengawan Solo yang dilalui Jaka Tingkir. Jalan yang sama,
dari Solo sampai Bojonegoro, juga dilalui para pedagang. Itu kita ketahui
lewat koran dan nyanyian, serta masih bisa kita lacak lewat sejarah lisan.
Pola migrasi ke kota juga bisa kita lacak lewat sejarah lisan. Di kota seperti
Yogyakarta, kaum migran dan selatan selalu tinggal di sebelah selatan kota.
Generalisasi Struktural. Kita sering heran, mengapa orang asing lebih peka dari
kita sendiri, mengenai orang Indonesia. Sering ketika kita sedang berjalan di
negeri orang, di mana tidak terdapat orang Indonesia, tiba-tiba kita ditegur
dalam bahasa Indonesia, oleh orang kulit putih. Atau, ketika kita sedang
berjalan-jalan dengan orang kulit putih, tiba-tiba orang itu menunjuk beberapa
rombongan orang berkulit sawo matang, dan menegur salah satu rombongan dengan bahasa
Indonesia. Ternyata, orang-orang asing telah mempelajari dengan cermat
struktur tubuh, cara berjalan, gerak-gerik tubuh, cara bicara, dan cara diam
kita. Dengan kata lain, orang asing itu telah mempelajari susunan kita,
struktur kita, mereka telah membuat generalisasi struktural tentang orang Indonesia.
Sebenarnya, kita juga punya
kebiasaan yang sama. Kita akan heran sendiri, bagaimana kita tahu kawan kita
dari Sumatera atau Kalimantan meskipun sama-sama berkulit kuning, bukan
berasal dari Timor Timur tetapi dari Irian Jaya meskipun sama-sama keriting.
Ora ng Katholik bukan Protestan, meskipun sama-sama alim; orang NU bukan orang
Muhammadiyah, meskipun sama-sama suka ke masjid. Orang Amerika dan bukan orang
Belanda, meskipun sama-sama berkulit putih; orang Jepang dan bukan orang Cina,
meskipun sama-sama bermata sipit dan berambut lurus.
Demikian juga banyak orang tahu
siapa akan terpilih jadi Ketua PBNU dalam Muktamar 1994. Banyak orang bisa
menduga apa yang akan dikerjakan Amerika di Iraq dan di Haiti pada 1994.
Sejarawan Taufik Abdullah dapat menduga reaksi veteran perang Belanda atas
usulan Pronk di akhir tahun 1994 supaya orang Belanda menghormati perayaan
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus.
Semua itu karena structure of events, susu nan peristiwa,
sudah diketahui. Misalnya, mengenai Amerika. Politik luar negeri Amerika
ternyata diatur oleh national interest, kepentingan
nasional. Definisi kepentingan nasional itu nampaknya berubah-ubah. Suatu kali
idealisme, seperti HAM; kadang-kadang realisme, seperti minyak. Ketika
Indonesia bertikai dengan Belanda 1945-1950 pada mulanya minyaklah (realisme)
yang menjadi perhatian Amerika, dan bukan hak menentukan nasib sendiri. Karena
itu Amerika nampak konservatif. Politik ini berubah menjadi idealisme (containment, membendung komunisme)
setelah terbukti Indonesia menumpas komunisme pada 1948. Sebagai pragmatis,
Amerika lebih banyak didominasi realisme.